Rabu, 24 Oktober 2012

SEJARAH MANGOKKAL HOLI

Samosir – Kabupaten Samosir di Sumatra Utara, mencakup pula Pulau Samosir yang berada di tengah perairan Danau Toba.
Disini tradisi mangokkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur, menjadi tradisi orang Batak Toba. Inilah ajang untuk menghormati para leluhur. Lewat mangokal holi juga, orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, berupa banyak keturunan, panjang umur, dan kekayaan.
Tradisi memindahkan tulang belulang leluhur kali ini berlangsung di Kelurahan Pangururan, Desa Batugordang. Keluarga besar Simbolon akan memindahkannya ke tempat yang baru, berupa tugu.
Perjalanan dari Kota Medan ke Samosir memakan waktu sekitar 5 jam. Selain berkendaraan di jalan raya, kami juga harus menyeberangi Danau Toba di Parapat.
Kapal motor penyebrangan Tao Toba yang kami tumpangi sudah beroperasi sejak tahun 1986. Sebetulnya jika ingin masuk ke Pulau Samosir bisa lewat darat, tapi jalanannya amat terjal. Sekarang banyak yang memilih untuk naik kapal motor ini. Selain lebih nyaman, pemandangan Toba yang sungguh indah juga jadi hiburan tersendiri.
Dari Tomok, pintu gerbang Samosir, menuju Kecamatan Pangururan, Kelurahan Pintu Sona, Huta Batugordang, perjalanan tidak mendapat hambatan karena jalan teraspal mulus. Tapi berkelok-kelok, sehingga perjalanan memakan waktu tempuh satu jam, untuk bisa tiba di Pangururan.
Selain terhampar pemandangan, ternyata banyak juga tugu makam yang ada di tepi jalan. Nantinya tulang belulang yang digali itu akan ditempatkan di tugu semacam ini.
Akhirnya sampai juga di Kampung Batugordang, tempat tradisi mangohal holi akan berlangsung.
Di Samosir, kampung atau huta dihuni berdasarkan hubungan darah. Huta bagi orang Tapanuli, identik dengan marga, yang merupakan turunan satu leluhur pria. Dengan menyebut marga, berarti menyebutkan kampung halaman leluhur.
Huta Batugordang ini merupakan huta tanah leluhur Ompu Raja Napir Simbolon. Kampung yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun ini, sedang sibuk, mempersiapkan ritual puncak mangohal holi yang akan berlangsung selama 3 hari.
Saat disembelih, darah kerbau sengaja ditumpah ke atas tanah. Agar para pemilik tanah di huta, mendapat rejeki atau berkat, dari acara mangohal holi yang akan diselenggarakan. Karena dari tanahlah, semua tumbuh.
Malam harinya, anak-anak muda marga Simbolon menonton rekaman ritual penggalian tulang belulang leluhur mereka. Mangohal holi adalah rangkaian ritual yang cukup panjang. Setidaknya pada keluarga besar Ompu Raja Napir Simbolon ini, mangokal holi sudah berjalan hampir 6 bulan.
Ada 7 makam leluhur yang harus digali, semuanya tersebar di berbagai tempat. Proses penggalian butuh waktu yang lama, karena harus berurusan dengan pihak hula-hula, atau keluarga dari pihak istri, untuk meminta ijin.
Seluruh kerangka tulang belulang yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah ini lalu dicuci dengan air jeruk, dan dilumuri kunyit, agar tampak bersih, dan segar. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam peti yang sudah disediakan.
Penghormatan Kepada Leluhur
Keindahan pemandangan Danau Toba, menjadi sebuah ironi dibandingkan dengan keadaan tanah Samosir yang berpasir, dan banyak bukit berbatu. Sebagian besar kawasan di sini, tidaklah terlalu subur. Namun toh demikian, kebanyakan warga hidup sebagai petani, dengan membuka areal sawah tadah hujan. Yang ditanam sayur mayur.
Kesederhanaan kehidupan masyarakat di Samosir, jadi tampak kontras dengan berdirinya kuburan dan tugu leluhur yang megah nan indah. Semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu, menjadi semakin jelas status sebuah keluarga. Semakin menambah gengsi.
Karena itu sudah tradisi bagi mereka, yang telah mapan secara ekonomi, terutama yang berhasil di perantauan, untuk menyisihkan uang, membangun kuburan bagi orangtua mereka, dan tugu buat para leluhur.
Bagai seremonial meresmikan suatu bangunan, tugu Ompu Raja Napir Simbolon, yang dibangun dalam waktu 2 tahun ini juga menjalani upacara peresmian oleh keluarga. Bagi orang Batak, biaya puluhan juta rupiah untuk membangun tugu, sebanding dengan penghormatan bagi orangtua dan leluhur mereka.
Buat orang Batak, dan juga keturunan dari Ompu Raja Nipar Simbolon dari 5 generasi, berdasarkan tarombo atau silsilah yang dimiliki setiap marga orang Batak, menyenangkan orangtua atau leluhur, membuat mereka melimpah dengan berkat.
Kesukacitaan usai meresmikan tugu, diwujudkan pula dengan menjamu seluruh keluarga besar dan tetangga kampung. Yang dihidangkan, daging kerbau dan nasi. Jambar, berupa kepala dan buntut kerbau, diberikan kepada hula-hula atau keluarga pihak istri, sebagai simbol penghargaan buat yang paling tinggi.
Kini giliran pihak hula-hula. Mereka memberikan ulos sebagai simbol penghargaan kepada leluhur.
Dalam masyarakat Batak, seseorang sudah punya posisi dalam keluarga besar, begitu ia lahir. Dalihan Na Tolu, begitu istilahnya dalam bahasa Toba. Yang paling dihormati adalah hula-hula atau keluarga pihak istri. Sementara dengan dongan tubu atau saudara semarga, berarti posisinya sejajar. Dan boru yang antara lain adalah saudara perempuan dan pihak marga suaminya, menempatkan orang tersebut dalam posisi melayani.
Tapi sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu ini bukanlah kasta. Karena setiap orang punya kesempatan untuk ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi yang dituakan, dan ada saatnya ia menjadi boru yang harus melayani pihak hula-hula.
Penghargaan buat para leluhur Simbolon, dari pihak hula-hula, dibalas pihak Simbolon dengan memberikan tandok. Ucapan terimakasih, berupa sejumlah uang, yang diletakkan dalam tempat beras atau piring berisi beras dan daun sirih.
Malam harinya, diisi dengan kebaktian. Walau tradisi leluhur masih mereka jalankan, orang Batak Toba juga kebanyakan adalah penganut agama Kristen dan Katolik yang taat. Sebuah kontradiksi yang mungkin hanya bisa dipahami mereka.
Bunyi musik gondang mengiringi acara ibadah yang dipimpin seorang pastor. Dalam alunan musik khas Batak ini, semua berharap, acara penguburan di tugu makam besok, mndapat restu dari debata atau Tuhan dan leluhur.
Hari inilah ritual puncak mangokal holi akan berlangsung. Pagi hari, tiang borotan ditanam di depan rumah leluhur. Tiang borotan ini semacam tiang pancang bagi hewan yang akan dikurbankan. Di pucuk tiang, dipasang kain putih sebagai lambang kesucian.
Selain kain putih, juga ada ulos pengiring. Maksudnya berkah akan terus mengiringi setiap keturunan. Sementara daun silinjuang yang dipasang, bermakna, setiap generasi Simbolon akan menang melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan.
Seekor kuda berwarna hitam, yang disebut huda debata, atau kuda tuhan, menjadi simbol persembahan buat Yang Maha Kuasa. 7 peti leluhur akhirnya dikeluarkan, dijunjung diatas kepala para boru Simbolon yang paling tua dan yang bungsu.
Suasana kian semarak, ketika keluarga yang hadir menari marnotor, mengelilingi tiang borotan, sebagai ungkapan sukacita. Ritual untuk membawa tulang belulang ke tempat yang baru, Tugu Ompu Raja Napir Simbolon, segera dimulai.
Holong, Pemersatu Keluarga
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak bisa dibilang cukup kuat. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena adanya garis keturunan, namun juga karena relasi perkawinan. Penentuan posisi seseorang dalam sebuah marga, mengharuskan tiap orang saling menyayangi dan menghormati.
Dalam kerangka pemikiran itulah, orang Batak Toba yang beragama Kristen dan Katolik ini masih setia menjalankan ritual mangohal holi atau penggalian tulang leluhur. Selain menunjukkan bakti pada leluhur, dalam acara ini jugalah tali silaturahmi antar mereka terjalin.
Holong, atau kasih menjadi pengikat yang mempersatukan. Hal ini amat terasa ketika seluruh keluarga menari. Saling memberikan salam, dengan memegang pipi.
7 peti tulang belulang leluhur akhirnya dibawa ke tempat persemayaman yang baru. Buat Wilmar Simbolon, yang datang dari kota Jakarta bersama keluarga, tradisi ini menjadi kesempatan baginya, untuk membahagiakan orangtua. Serta mengajarkan adat Batak dan menunjukkan asal muasal keluarga besar mereka, kepada anak-anaknya.
Ketika tulang belulang para leluhur ditempatkan di tugu, langit pun menurunkan tetesan airnya. Mengiringi prosesi tersebut. Menurut kepercayaan, jika hujan turun ketika mangohal holi, berarti berkah akan turun melimpah bagi kehidupan mereka.
Kebahagiaan usai menjalani ritual mangohal holi, dengan memasukkan tulang belulang leluhur ke tempat persemayaman yang baru, kembali berlanjut. Huda debata, atau kuda Tuhan, akhirnya dipotong, disajikan kepada para tamu undangan.
Bagian kepala, dan buntut untuk hula-hula. Satu paha kuda untuk tuan rumah, sedangkan bagian perut dan daging di bagian leher kuda untuk pihak boru. Bagian yang tidak bertulang lainnya untuk disantap bersama. Masakan orang Batak, yaitu saksang, mempunyai kekhasan sendiri, karena daging yang diolah harus dicampur dengan darah.
Pesta mangokal holi masih berlanjut, terkadang bisa sepekan pesta tersebut diselenggarakan. Hari ini seekor kerbau muda, digiring sebagai persembahan dan ungkapan syukur.
Kerbau ditambat ke tiang borotan, namun kali ini kayunya jenis kayu sarimanaik, yang melambangkan seluruh rejeki dari tanah akan naik, sehingga memberikan kemakmuran buat huta mereka. Sebelum kerbau dipersembahkan untuk pesta, ada ritual mangkarihiri horbo, atau memasang sungil-sungil di hidung kerbau, agar kerbau mudah ditarik, dan tidak mengamuk.
Seluruh keluarga besar, keturunan Ompu Raja Napir Simbolon, yang masih hidup, kembali menari, bersuka, saling menyapa antar sanak keluarga.
Bagi orang Batak Toba, mengangkat martabat sebuah marga, adalah dengan menghormati orangtua dan para leluhurnya. Lewat rangkaian ritual mangohal holi, niscaya tercapailah hasangapon, atau kemuliaan sebuah marga. kebanggaan yang timbul, karena rasa hormat.

2 komentar:

  1. Luar biasa...apa boleh di beritahu literatur yg membahas ini? Tks

    BalasHapus
  2. Saya sagat membutubkan bantuan dri penulis
    Karna saya skrng lagi mebahas tentang mangokal holi untuk skripsi saya

    BalasHapus