Samosir – Kabupaten Samosir di Sumatra Utara, mencakup pula Pulau Samosir yang berada di tengah perairan Danau Toba.
Disini tradisi mangokkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur, menjadi tradisi orang Batak Toba. Inilah ajang untuk menghormati para leluhur. Lewat mangokal holi juga, orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, berupa banyak keturunan, panjang umur, dan kekayaan.
Disini tradisi mangokkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur, menjadi tradisi orang Batak Toba. Inilah ajang untuk menghormati para leluhur. Lewat mangokal holi juga, orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, berupa banyak keturunan, panjang umur, dan kekayaan.
Tradisi memindahkan tulang belulang
leluhur kali ini berlangsung di Kelurahan Pangururan, Desa Batugordang.
Keluarga besar Simbolon akan memindahkannya ke tempat yang baru, berupa
tugu.
Perjalanan dari Kota Medan ke Samosir
memakan waktu sekitar 5 jam. Selain berkendaraan di jalan raya, kami
juga harus menyeberangi Danau Toba di Parapat.
Kapal motor penyebrangan Tao Toba yang
kami tumpangi sudah beroperasi sejak tahun 1986. Sebetulnya jika ingin
masuk ke Pulau Samosir bisa lewat darat, tapi jalanannya amat terjal.
Sekarang banyak yang memilih untuk naik kapal motor ini. Selain lebih
nyaman, pemandangan Toba yang sungguh indah juga jadi hiburan
tersendiri.
Dari Tomok, pintu gerbang Samosir, menuju
Kecamatan Pangururan, Kelurahan Pintu Sona, Huta Batugordang,
perjalanan tidak mendapat hambatan karena jalan teraspal mulus. Tapi
berkelok-kelok, sehingga perjalanan memakan waktu tempuh satu jam, untuk
bisa tiba di Pangururan.
Selain terhampar pemandangan, ternyata
banyak juga tugu makam yang ada di tepi jalan. Nantinya tulang belulang
yang digali itu akan ditempatkan di tugu semacam ini.
Akhirnya sampai juga di Kampung Batugordang, tempat tradisi mangohal holi akan berlangsung.
Di Samosir, kampung atau huta dihuni
berdasarkan hubungan darah. Huta bagi orang Tapanuli, identik dengan
marga, yang merupakan turunan satu leluhur pria. Dengan menyebut marga,
berarti menyebutkan kampung halaman leluhur.
Huta Batugordang ini merupakan huta tanah
leluhur Ompu Raja Napir Simbolon. Kampung yang diperkirakan sudah
berumur ratusan tahun ini, sedang sibuk, mempersiapkan ritual puncak
mangohal holi yang akan berlangsung selama 3 hari.
Saat disembelih, darah kerbau sengaja
ditumpah ke atas tanah. Agar para pemilik tanah di huta, mendapat rejeki
atau berkat, dari acara mangohal holi yang akan diselenggarakan. Karena
dari tanahlah, semua tumbuh.
Malam harinya, anak-anak muda marga
Simbolon menonton rekaman ritual penggalian tulang belulang leluhur
mereka. Mangohal holi adalah rangkaian ritual yang cukup panjang.
Setidaknya pada keluarga besar Ompu Raja Napir Simbolon ini, mangokal
holi sudah berjalan hampir 6 bulan.
Ada 7 makam leluhur yang harus digali,
semuanya tersebar di berbagai tempat. Proses penggalian butuh waktu yang
lama, karena harus berurusan dengan pihak hula-hula, atau keluarga dari
pihak istri, untuk meminta ijin.
Seluruh kerangka tulang belulang yang
sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah ini lalu dicuci dengan air
jeruk, dan dilumuri kunyit, agar tampak bersih, dan segar. Setelah itu
baru dimasukkan ke dalam peti yang sudah disediakan.
Penghormatan Kepada Leluhur
Keindahan pemandangan Danau Toba, menjadi
sebuah ironi dibandingkan dengan keadaan tanah Samosir yang berpasir,
dan banyak bukit berbatu. Sebagian besar kawasan di sini, tidaklah
terlalu subur. Namun toh demikian, kebanyakan warga hidup sebagai
petani, dengan membuka areal sawah tadah hujan. Yang ditanam sayur
mayur.
Kesederhanaan kehidupan masyarakat di
Samosir, jadi tampak kontras dengan berdirinya kuburan dan tugu leluhur
yang megah nan indah. Semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu,
menjadi semakin jelas status sebuah keluarga. Semakin menambah gengsi.
Karena itu sudah tradisi bagi mereka,
yang telah mapan secara ekonomi, terutama yang berhasil di perantauan,
untuk menyisihkan uang, membangun kuburan bagi orangtua mereka, dan tugu
buat para leluhur.
Bagai seremonial meresmikan suatu
bangunan, tugu Ompu Raja Napir Simbolon, yang dibangun dalam waktu 2
tahun ini juga menjalani upacara peresmian oleh keluarga. Bagi orang
Batak, biaya puluhan juta rupiah untuk membangun tugu, sebanding dengan
penghormatan bagi orangtua dan leluhur mereka.
Buat orang Batak, dan juga keturunan dari
Ompu Raja Nipar Simbolon dari 5 generasi, berdasarkan tarombo atau
silsilah yang dimiliki setiap marga orang Batak, menyenangkan orangtua
atau leluhur, membuat mereka melimpah dengan berkat.
Kesukacitaan usai meresmikan tugu,
diwujudkan pula dengan menjamu seluruh keluarga besar dan tetangga
kampung. Yang dihidangkan, daging kerbau dan nasi. Jambar, berupa kepala
dan buntut kerbau, diberikan kepada hula-hula atau keluarga pihak
istri, sebagai simbol penghargaan buat yang paling tinggi.
Kini giliran pihak hula-hula. Mereka memberikan ulos sebagai simbol penghargaan kepada leluhur.
Dalam masyarakat Batak, seseorang sudah
punya posisi dalam keluarga besar, begitu ia lahir. Dalihan Na Tolu,
begitu istilahnya dalam bahasa Toba. Yang paling dihormati adalah
hula-hula atau keluarga pihak istri. Sementara dengan dongan tubu atau
saudara semarga, berarti posisinya sejajar. Dan boru yang antara lain
adalah saudara perempuan dan pihak marga suaminya, menempatkan orang
tersebut dalam posisi melayani.
Tapi sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu
ini bukanlah kasta. Karena setiap orang punya kesempatan untuk ketiga
posisi tersebut. Ada saatnya menjadi yang dituakan, dan ada saatnya ia
menjadi boru yang harus melayani pihak hula-hula.
Penghargaan buat para leluhur Simbolon,
dari pihak hula-hula, dibalas pihak Simbolon dengan memberikan tandok.
Ucapan terimakasih, berupa sejumlah uang, yang diletakkan dalam tempat
beras atau piring berisi beras dan daun sirih.
Malam harinya, diisi dengan kebaktian.
Walau tradisi leluhur masih mereka jalankan, orang Batak Toba juga
kebanyakan adalah penganut agama Kristen dan Katolik yang taat. Sebuah
kontradiksi yang mungkin hanya bisa dipahami mereka.
Bunyi musik gondang mengiringi acara
ibadah yang dipimpin seorang pastor. Dalam alunan musik khas Batak ini,
semua berharap, acara penguburan di tugu makam besok, mndapat restu dari
debata atau Tuhan dan leluhur.
Hari inilah ritual puncak mangokal holi
akan berlangsung. Pagi hari, tiang borotan ditanam di depan rumah
leluhur. Tiang borotan ini semacam tiang pancang bagi hewan yang akan
dikurbankan. Di pucuk tiang, dipasang kain putih sebagai lambang
kesucian.
Selain kain putih, juga ada ulos
pengiring. Maksudnya berkah akan terus mengiringi setiap keturunan.
Sementara daun silinjuang yang dipasang, bermakna, setiap generasi
Simbolon akan menang melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan.
Seekor kuda berwarna hitam, yang disebut
huda debata, atau kuda tuhan, menjadi simbol persembahan buat Yang Maha
Kuasa. 7 peti leluhur akhirnya dikeluarkan, dijunjung diatas kepala para
boru Simbolon yang paling tua dan yang bungsu.
Suasana kian semarak, ketika keluarga
yang hadir menari marnotor, mengelilingi tiang borotan, sebagai ungkapan
sukacita. Ritual untuk membawa tulang belulang ke tempat yang baru,
Tugu Ompu Raja Napir Simbolon, segera dimulai.
Holong, Pemersatu Keluarga
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat
Batak bisa dibilang cukup kuat. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena
adanya garis keturunan, namun juga karena relasi perkawinan. Penentuan
posisi seseorang dalam sebuah marga, mengharuskan tiap orang saling
menyayangi dan menghormati.
Dalam kerangka pemikiran itulah, orang
Batak Toba yang beragama Kristen dan Katolik ini masih setia menjalankan
ritual mangohal holi atau penggalian tulang leluhur. Selain menunjukkan
bakti pada leluhur, dalam acara ini jugalah tali silaturahmi antar
mereka terjalin.
Holong, atau kasih menjadi pengikat yang
mempersatukan. Hal ini amat terasa ketika seluruh keluarga menari.
Saling memberikan salam, dengan memegang pipi.
7 peti tulang belulang leluhur akhirnya
dibawa ke tempat persemayaman yang baru. Buat Wilmar Simbolon, yang
datang dari kota Jakarta bersama keluarga, tradisi ini menjadi
kesempatan baginya, untuk membahagiakan orangtua. Serta mengajarkan adat
Batak dan menunjukkan asal muasal keluarga besar mereka, kepada
anak-anaknya.
Ketika tulang belulang para leluhur
ditempatkan di tugu, langit pun menurunkan tetesan airnya. Mengiringi
prosesi tersebut. Menurut kepercayaan, jika hujan turun ketika mangohal
holi, berarti berkah akan turun melimpah bagi kehidupan mereka.
Kebahagiaan usai menjalani ritual
mangohal holi, dengan memasukkan tulang belulang leluhur ke tempat
persemayaman yang baru, kembali berlanjut. Huda debata, atau kuda Tuhan,
akhirnya dipotong, disajikan kepada para tamu undangan.
Bagian kepala, dan buntut untuk
hula-hula. Satu paha kuda untuk tuan rumah, sedangkan bagian perut dan
daging di bagian leher kuda untuk pihak boru. Bagian yang tidak
bertulang lainnya untuk disantap bersama. Masakan orang Batak, yaitu
saksang, mempunyai kekhasan sendiri, karena daging yang diolah harus
dicampur dengan darah.
Pesta mangokal holi masih berlanjut,
terkadang bisa sepekan pesta tersebut diselenggarakan. Hari ini seekor
kerbau muda, digiring sebagai persembahan dan ungkapan syukur.
Kerbau ditambat ke tiang borotan, namun
kali ini kayunya jenis kayu sarimanaik, yang melambangkan seluruh rejeki
dari tanah akan naik, sehingga memberikan kemakmuran buat huta mereka.
Sebelum kerbau dipersembahkan untuk pesta, ada ritual mangkarihiri
horbo, atau memasang sungil-sungil di hidung kerbau, agar kerbau mudah
ditarik, dan tidak mengamuk.
Seluruh keluarga besar, keturunan Ompu
Raja Napir Simbolon, yang masih hidup, kembali menari, bersuka, saling
menyapa antar sanak keluarga.
Bagi orang Batak Toba, mengangkat
martabat sebuah marga, adalah dengan menghormati orangtua dan para
leluhurnya. Lewat rangkaian ritual mangohal holi, niscaya tercapailah
hasangapon, atau kemuliaan sebuah marga. kebanggaan yang timbul, karena
rasa hormat.
Luar biasa...apa boleh di beritahu literatur yg membahas ini? Tks
BalasHapusSaya sagat membutubkan bantuan dri penulis
BalasHapusKarna saya skrng lagi mebahas tentang mangokal holi untuk skripsi saya