Rabu, 24 Oktober 2012

GONDANG BATAK

Dalam suatu wawancara penulis tahun 1980an dengan almarhum Dr Liberty Manik di Yogyakarta, pencipta “Satu Nusa Satu Bangsa” musikolog jebolan Berlin itu mengisahkan betapa koleganya di Eropa takjub pada musik gondang sabangunan. Mula-mula Manik hanya memperdengarkan rekaman suara musik gondang yang sangat bergairah dan hadirin yang belum pernah mendengarnya segera berimajinasi tentang tari perang dan gerakan meloncat-loncat. Karena iramanya memang bersemangat dan tempo cepat. Tetapi ketika Manik mempertontonkan rekaman gambar dan suara dengan proyektor film maka para hadirin tercengang melihat penari tortor sangat khidmat dengan gerak lambat dan terbatas, khususnya kaum perempuan.
Manik menyumbangkan kajian studi tentang gondang dalam ritual Batak Toba (‘Einer Studienreise zur Erforschung der rituellen Gondang-Musik der Batak auf Nord Sumatra’ , diterbitkan di Hamburg) dan pernah ditugaskan Dewan Gereja-gereja Indonesia untuk menelitinya yang dimuat dalam Majalah DGI ‘Peninjau’. Ia memperbandingkan musik Barat yang diatonis dan gondang sebagai musik dengan nada pentatonis. Usaha Manik melakukan penelitian dan pendokumentasian gondang patut dihargai tinggi, karena sangat jarang yang memberi minat untuk soal itu.
Kedua, kita perlu dicatat seorang peneliti dari generasi lebih muda, Mauly Purba, menulis tesis di Monash University yang memberi kajian mendalam mengenai perubahan fungsi dan makna gondang sabangunan sehubungan dengan penyebaran agama Kristen di tanah Batak. (‘Musical and functional change in the gondang sabangunan tradition of the Protestant Toba Batak 1860s–1990s). Purba sampai sekarang berusaha keras untuk melestarikan gondang agar tidak tertelan zaman, digeser oleh perangkat musik tiup logam (brass) dan atau organ elektronik yang disebut ‘kibot’ (keyboard).
Instrumen dan Repertoar Gondang
Gondang sabangunan atau disingkat gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk seperangkat alat musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor) dalam suatu upacara. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu, serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat dalam upacara. Dengan demikian gondang menunjuk pada 4 pengertian :
1. instrument musik
2. komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu)
3. jenis tortor kerabat
Pargonsi adalah para musisi yang memainkan instrumen gondang. Instrumen gondang sabangunan disebut juga ‘parhohas na ualu’ (delapan perangkat). Angka delapan punya makna penting dalam pemahaman Batak karena merujuk pada delapan mata angin (desa na ualu). Instrumen gondang terdiri dari :
1) taganing
2) sarune
3) gordang
4) ihutan
5) oloan
6) panggora
7) doal
8) hesek
Ada lagi satu instrumen yang kadang dipakai sebagai pelengkap disebut odap.
Taganing adalah seperangkat (lima buah) gendang berbentuk silinder (membranophone) yang dipukul dengan kayu. Pemain taganing memiliki peran dan tanggung jawab istimewa karena disamping memberi ritme (aba-aba) juga memainkan melodi suatu lagu bersama dengan sarune. Dialah dirigen dan pemberi semangat semua musisi, disamping harus menguasai seluruh repertoar gondang. Gordang juga gendang yang bentuknya lebih besar yang berfungsi sebagai pelengkap taganing dalam variasi ritme. Temponya selalu cepat sehingga tidak dapat diikuti penari. Penari mengikuti ritme ogung.
Sarune merupakan instrument tiup dari kayu berlidah ganda (double reed aerophone) yang memainkan melodi suatu lagu. Pemain sarune juga istimewa karena tanggung jawab penguasaan repertoar sama dengan pemain taganing.
Alat musik oloan, ihutan, panggora dan doal adalah gong dalam berbagai ukuran. Perannya juga bersifat ritmis. Begitu juga halnya odap. Ogung oloan yang bernada rendah menyajikan bunyi dengan ritme tetap agar dituruti oleh ogung yang lain. Karena itu disebut ‘oloan’ yang artinya diikuti. Ia memimpin semua ritme ogung. Oloan disambut oleh Ogung Ihutan (=yang mengikuti) atau disebut juga ‘pangalusi’ (=jawaban). Peranan ihutan hampir sama dengan oloan tetapi dengan nada lebih tinggi Disambut lagi dengan Ogung Panggora (= yang berseru, memberi efek kejut) dan Doal yang memberi variasi ritme tambahan. Hesek (hesek) kelihatannya seperti tidak penting namun terasa kurang pas tanpa kehadirannya untuk menyempurnakan keseluruhan ritme. Dua pukulan hesek berbunyi dalam satu pukulan doal sehingga memberi efek sinkopis yang harmonis. Panggora akan berbunyi bersama-sama oloan pada pukulan kedua dan sekali ia berbarengan dengan ihutan.
Dalam pengertian repertoar, suatu rangkaian musik yang berhubungan satu dengan berikutnya, disebut ‘Si Pitu Gondang’ yang terdiri dari tujuh lagu berurutan sehubungan dengan ritual agama Batak purba. Tidak diiringi dengan tarian. Bisa dimainkan keseluruhan tanpa henti tetapi bisa dengan jeda. Beberapa jenis repertoar asli untuk ritual lama sekarang sudah sangat jarang diselenggarakan sehubungan dengan pengaruh agama Kristen. Bahkan pada awal nya para misionaris melarang pelaksanaan gondang karena dianggap membangkitkan kembali gairah agama suku. Kalau pada masa zending kekhawatiran itu mungkin beralasan karena orang Batak yang dikristenkan baru melangkah setapak kedalam agama baru dari dunia lama. Kini pada generasi kelima bahkan keenam, kecemasan semacam itu kiranya berlebihan sebab pada umumnya generasi sekarang tidak merasakan lagi aroma agama purba dan semata-mata melihatnya dari segi kesenian belaka. Gereja agaknya sudah agak melunak dan memperbolehkan dengan syarat dimulai doa oleh pendeta atau pengurus gereja. Diskursus soal teologi Kristen mengenai gondang akan dibicarakan dibagian lain.
Rangkaian ini selalu dimulai oleh yang punya hajat (‘suhut’) membuka upacara dengan meminta ‘Tua ni Gondang’ (introduksi) artinya memohon tuah dari Tuhan untuk gondang yang akan diselenggarakan. Dengan ini maka upacara dimulai secara resmi. Repertoar selalu Gondang Mula-mula yang memulai mohon restu dari Maha Pencipta dan hadirin, dengan menutup kedua telapak tangan didepan dada. Disusul kemudian Gondang Somba-somba untuk memberi hormat takzim dengan menyedekap kedua telapak tangan yang mulai terbuka. Penari berputar dan berdiri ditempat. Dibagian tengah repertoar ada Gondang Pasu-pasu memberi berkat dan restu kepada kelompok boru (pihak kerabat pengambil isteri). Dalam kelompok Pasu-pasu termasuk Gondang Sampur Marmeme untuk permohonan agar Boru diberi banyak keturunan, dan Gondang Sampur Marorot agar kelompok Boru dapat memelihara dan merawat anak-anaknya agar selalu sehat walafiat. Gondang Saudara termasuk juga pasu-pasu yang menggambarkan permohonan kepada yang Maha Kuasa untuk kemakmuran. Pada tahap akhir adalah komposisi Gondang Sitio-tio/Hasahatan (finale) menggambarkan kecerahan dan segala permohonan segera terwujud.
Repertoar asli yang antara lain memuat Gondang Mulajadi, Gondang Batara Guru, Gondang Mangalabulan dsb sangat jarang diperagakan. Mungkin akan dapat anda saksikan dalam upacara penganut agama Parmalim yang diselenggarakan pada waktu tertentu di desa Hutatinggi di Laguboti.
Semua kerabat dapat meminta gondang untuk menari misalnya ada kelompok tuan rumah disebut gondang Suhut, gondang Boru, gondang Hula-hula dan juga untuk kelompok muda-mudi diberi kesempatan untuk menari disebut Gondang Naposo.
Uning-uningan
Perlu ditambahkan bahwa dalam suatu pelaksanaan ritual lama pada umumnya hanya melibatkan orangtua meskipun ada diberi kesempatan muda-mudi berpartisipasi dengan acara Gondang Naposo. Pelaksanaan upacara bisa berhari-hari, mungkin tujuh hari. Ditengah-tengah waktu senggangnya para pemuda juga berlatih semacam ensembel disebut ‘uning-uningan’. Uning-uningan bukan termasuk ensembel untuk ritual tetapi lebih bersifat hiburan. Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya disebut juga gondang yaitu Gondang Hasapi. Hasapi adalah kecapi yang memainkan melodi dalam uning-uningan. Ada juga penyanyi yang membawakan lagu-lagu kisah cinta, penderitaan, cita-cita dsb. Ensembel uning-uningan (gondang hasapi) terdiri dari alat musik :
1. hasapi (kecapi)
2. sarune getep (alat musik tiup dari kayu, lebih pendek dari sarune)
3. sulim (suling)
4. garantung (alat musik pukul dari beberapa kayu berbentuk pipih)
5. tulila
6. hesek
7. dll
Sebagai catatan penutup adalah kisah seorang tua bermarga Samosir, mantan pemain ‘opera tradisional’ Seni Ragam Indonesia (Serindo) yang seluruh hidupnya diabdikan sebagai pemain musik tradisional gondang dan uning-uningan. Ia mengeluh karena sering merasa dilecehkan pihak pengundang yang menawar upah jasa dengan harga sangat rendah dibanding dengan musik keyboard. Untuk menawar keyboard, orang Batak bersedia membayar diatas Rp 2 juta tapi untuk gondang dibayar kurang dari Rp 1 juta, malah Rp 700,000, padahal delapan pemain gondang itu seharian keringatan.! Bisa dibayangkan bahwa tanpa ada penghargaan dari orang Batak sendiri maka perlahan-lahan semua pargonsi akan beralih profesi dan punahlah gondang sabangunan itu.

SEJARAH MANGOKKAL HOLI

Samosir – Kabupaten Samosir di Sumatra Utara, mencakup pula Pulau Samosir yang berada di tengah perairan Danau Toba.
Disini tradisi mangokkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur, menjadi tradisi orang Batak Toba. Inilah ajang untuk menghormati para leluhur. Lewat mangokal holi juga, orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, berupa banyak keturunan, panjang umur, dan kekayaan.
Tradisi memindahkan tulang belulang leluhur kali ini berlangsung di Kelurahan Pangururan, Desa Batugordang. Keluarga besar Simbolon akan memindahkannya ke tempat yang baru, berupa tugu.
Perjalanan dari Kota Medan ke Samosir memakan waktu sekitar 5 jam. Selain berkendaraan di jalan raya, kami juga harus menyeberangi Danau Toba di Parapat.
Kapal motor penyebrangan Tao Toba yang kami tumpangi sudah beroperasi sejak tahun 1986. Sebetulnya jika ingin masuk ke Pulau Samosir bisa lewat darat, tapi jalanannya amat terjal. Sekarang banyak yang memilih untuk naik kapal motor ini. Selain lebih nyaman, pemandangan Toba yang sungguh indah juga jadi hiburan tersendiri.
Dari Tomok, pintu gerbang Samosir, menuju Kecamatan Pangururan, Kelurahan Pintu Sona, Huta Batugordang, perjalanan tidak mendapat hambatan karena jalan teraspal mulus. Tapi berkelok-kelok, sehingga perjalanan memakan waktu tempuh satu jam, untuk bisa tiba di Pangururan.
Selain terhampar pemandangan, ternyata banyak juga tugu makam yang ada di tepi jalan. Nantinya tulang belulang yang digali itu akan ditempatkan di tugu semacam ini.
Akhirnya sampai juga di Kampung Batugordang, tempat tradisi mangohal holi akan berlangsung.
Di Samosir, kampung atau huta dihuni berdasarkan hubungan darah. Huta bagi orang Tapanuli, identik dengan marga, yang merupakan turunan satu leluhur pria. Dengan menyebut marga, berarti menyebutkan kampung halaman leluhur.
Huta Batugordang ini merupakan huta tanah leluhur Ompu Raja Napir Simbolon. Kampung yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun ini, sedang sibuk, mempersiapkan ritual puncak mangohal holi yang akan berlangsung selama 3 hari.
Saat disembelih, darah kerbau sengaja ditumpah ke atas tanah. Agar para pemilik tanah di huta, mendapat rejeki atau berkat, dari acara mangohal holi yang akan diselenggarakan. Karena dari tanahlah, semua tumbuh.
Malam harinya, anak-anak muda marga Simbolon menonton rekaman ritual penggalian tulang belulang leluhur mereka. Mangohal holi adalah rangkaian ritual yang cukup panjang. Setidaknya pada keluarga besar Ompu Raja Napir Simbolon ini, mangokal holi sudah berjalan hampir 6 bulan.
Ada 7 makam leluhur yang harus digali, semuanya tersebar di berbagai tempat. Proses penggalian butuh waktu yang lama, karena harus berurusan dengan pihak hula-hula, atau keluarga dari pihak istri, untuk meminta ijin.
Seluruh kerangka tulang belulang yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah ini lalu dicuci dengan air jeruk, dan dilumuri kunyit, agar tampak bersih, dan segar. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam peti yang sudah disediakan.
Penghormatan Kepada Leluhur
Keindahan pemandangan Danau Toba, menjadi sebuah ironi dibandingkan dengan keadaan tanah Samosir yang berpasir, dan banyak bukit berbatu. Sebagian besar kawasan di sini, tidaklah terlalu subur. Namun toh demikian, kebanyakan warga hidup sebagai petani, dengan membuka areal sawah tadah hujan. Yang ditanam sayur mayur.
Kesederhanaan kehidupan masyarakat di Samosir, jadi tampak kontras dengan berdirinya kuburan dan tugu leluhur yang megah nan indah. Semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu, menjadi semakin jelas status sebuah keluarga. Semakin menambah gengsi.
Karena itu sudah tradisi bagi mereka, yang telah mapan secara ekonomi, terutama yang berhasil di perantauan, untuk menyisihkan uang, membangun kuburan bagi orangtua mereka, dan tugu buat para leluhur.
Bagai seremonial meresmikan suatu bangunan, tugu Ompu Raja Napir Simbolon, yang dibangun dalam waktu 2 tahun ini juga menjalani upacara peresmian oleh keluarga. Bagi orang Batak, biaya puluhan juta rupiah untuk membangun tugu, sebanding dengan penghormatan bagi orangtua dan leluhur mereka.
Buat orang Batak, dan juga keturunan dari Ompu Raja Nipar Simbolon dari 5 generasi, berdasarkan tarombo atau silsilah yang dimiliki setiap marga orang Batak, menyenangkan orangtua atau leluhur, membuat mereka melimpah dengan berkat.
Kesukacitaan usai meresmikan tugu, diwujudkan pula dengan menjamu seluruh keluarga besar dan tetangga kampung. Yang dihidangkan, daging kerbau dan nasi. Jambar, berupa kepala dan buntut kerbau, diberikan kepada hula-hula atau keluarga pihak istri, sebagai simbol penghargaan buat yang paling tinggi.
Kini giliran pihak hula-hula. Mereka memberikan ulos sebagai simbol penghargaan kepada leluhur.
Dalam masyarakat Batak, seseorang sudah punya posisi dalam keluarga besar, begitu ia lahir. Dalihan Na Tolu, begitu istilahnya dalam bahasa Toba. Yang paling dihormati adalah hula-hula atau keluarga pihak istri. Sementara dengan dongan tubu atau saudara semarga, berarti posisinya sejajar. Dan boru yang antara lain adalah saudara perempuan dan pihak marga suaminya, menempatkan orang tersebut dalam posisi melayani.
Tapi sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu ini bukanlah kasta. Karena setiap orang punya kesempatan untuk ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi yang dituakan, dan ada saatnya ia menjadi boru yang harus melayani pihak hula-hula.
Penghargaan buat para leluhur Simbolon, dari pihak hula-hula, dibalas pihak Simbolon dengan memberikan tandok. Ucapan terimakasih, berupa sejumlah uang, yang diletakkan dalam tempat beras atau piring berisi beras dan daun sirih.
Malam harinya, diisi dengan kebaktian. Walau tradisi leluhur masih mereka jalankan, orang Batak Toba juga kebanyakan adalah penganut agama Kristen dan Katolik yang taat. Sebuah kontradiksi yang mungkin hanya bisa dipahami mereka.
Bunyi musik gondang mengiringi acara ibadah yang dipimpin seorang pastor. Dalam alunan musik khas Batak ini, semua berharap, acara penguburan di tugu makam besok, mndapat restu dari debata atau Tuhan dan leluhur.
Hari inilah ritual puncak mangokal holi akan berlangsung. Pagi hari, tiang borotan ditanam di depan rumah leluhur. Tiang borotan ini semacam tiang pancang bagi hewan yang akan dikurbankan. Di pucuk tiang, dipasang kain putih sebagai lambang kesucian.
Selain kain putih, juga ada ulos pengiring. Maksudnya berkah akan terus mengiringi setiap keturunan. Sementara daun silinjuang yang dipasang, bermakna, setiap generasi Simbolon akan menang melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan.
Seekor kuda berwarna hitam, yang disebut huda debata, atau kuda tuhan, menjadi simbol persembahan buat Yang Maha Kuasa. 7 peti leluhur akhirnya dikeluarkan, dijunjung diatas kepala para boru Simbolon yang paling tua dan yang bungsu.
Suasana kian semarak, ketika keluarga yang hadir menari marnotor, mengelilingi tiang borotan, sebagai ungkapan sukacita. Ritual untuk membawa tulang belulang ke tempat yang baru, Tugu Ompu Raja Napir Simbolon, segera dimulai.
Holong, Pemersatu Keluarga
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak bisa dibilang cukup kuat. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena adanya garis keturunan, namun juga karena relasi perkawinan. Penentuan posisi seseorang dalam sebuah marga, mengharuskan tiap orang saling menyayangi dan menghormati.
Dalam kerangka pemikiran itulah, orang Batak Toba yang beragama Kristen dan Katolik ini masih setia menjalankan ritual mangohal holi atau penggalian tulang leluhur. Selain menunjukkan bakti pada leluhur, dalam acara ini jugalah tali silaturahmi antar mereka terjalin.
Holong, atau kasih menjadi pengikat yang mempersatukan. Hal ini amat terasa ketika seluruh keluarga menari. Saling memberikan salam, dengan memegang pipi.
7 peti tulang belulang leluhur akhirnya dibawa ke tempat persemayaman yang baru. Buat Wilmar Simbolon, yang datang dari kota Jakarta bersama keluarga, tradisi ini menjadi kesempatan baginya, untuk membahagiakan orangtua. Serta mengajarkan adat Batak dan menunjukkan asal muasal keluarga besar mereka, kepada anak-anaknya.
Ketika tulang belulang para leluhur ditempatkan di tugu, langit pun menurunkan tetesan airnya. Mengiringi prosesi tersebut. Menurut kepercayaan, jika hujan turun ketika mangohal holi, berarti berkah akan turun melimpah bagi kehidupan mereka.
Kebahagiaan usai menjalani ritual mangohal holi, dengan memasukkan tulang belulang leluhur ke tempat persemayaman yang baru, kembali berlanjut. Huda debata, atau kuda Tuhan, akhirnya dipotong, disajikan kepada para tamu undangan.
Bagian kepala, dan buntut untuk hula-hula. Satu paha kuda untuk tuan rumah, sedangkan bagian perut dan daging di bagian leher kuda untuk pihak boru. Bagian yang tidak bertulang lainnya untuk disantap bersama. Masakan orang Batak, yaitu saksang, mempunyai kekhasan sendiri, karena daging yang diolah harus dicampur dengan darah.
Pesta mangokal holi masih berlanjut, terkadang bisa sepekan pesta tersebut diselenggarakan. Hari ini seekor kerbau muda, digiring sebagai persembahan dan ungkapan syukur.
Kerbau ditambat ke tiang borotan, namun kali ini kayunya jenis kayu sarimanaik, yang melambangkan seluruh rejeki dari tanah akan naik, sehingga memberikan kemakmuran buat huta mereka. Sebelum kerbau dipersembahkan untuk pesta, ada ritual mangkarihiri horbo, atau memasang sungil-sungil di hidung kerbau, agar kerbau mudah ditarik, dan tidak mengamuk.
Seluruh keluarga besar, keturunan Ompu Raja Napir Simbolon, yang masih hidup, kembali menari, bersuka, saling menyapa antar sanak keluarga.
Bagi orang Batak Toba, mengangkat martabat sebuah marga, adalah dengan menghormati orangtua dan para leluhurnya. Lewat rangkaian ritual mangohal holi, niscaya tercapailah hasangapon, atau kemuliaan sebuah marga. kebanggaan yang timbul, karena rasa hormat.

MENGENAL ULOS BATAK

[ JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA ]
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Jenis Ulos
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.

Tata Cara dan Urutan Pernikahan Adat Na Gok

1. Mangarisika..
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip..
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
3. Marhata Sinamot..
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4. Pudun Sauta..
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :
1. Kerabat marga ibu (hula-hula)
2. Kerabat marga ayah (dongan tubu)
3. Anggota marga menantu (boru)
4. Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
5. Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
5. Martumpol (baca : martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
6. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk :
Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis
Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)
8. Pesta Unjuk
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :
1. Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
2. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual)
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
10. Ditaruhon Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)
1. Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
2. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru
12. Paulak Unea..
a. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
b. Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya
memulai hidup baru.
13. Manjahea.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.
14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur).Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok.

PARTUTURAN NI HALAK BATAK(SAPAAN BAGI ORANG BATAK TOBA)

Ada begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku batak tetapi tidak tahu "martutur" (bertutur sapa). Kesalahan dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !".
Oleh sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur sapa yang sering diucapkan semoga berguna :
  1. Ale-ale   = teman akrab, bisa saja berbeda marga
  2. Amang Naposo = anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
  3. Amang/ damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
  4. Amangbao = suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
  5. Amangboru = suami kakak atau adik perempuan dari ayah
  6. Amangtua mangulaki = kakek ayah
  7. Amangtua = abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
  8. Amanguda = adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang lebih muda
  9. Amanta/ amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
  10. Ampara = sapaan umum buat yang se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
  11. Anakboru = perempuan yang masih gadis atau belum menikah
  12. Anggi doli = suami dari anggiboru. Adik (lk) sudah kawin.
  13. Anggi = adik kita (lk), adik (pr) boru tulang
  14. Anggiboru = isteri adik kita yang laki-laki, istri dari adik yang satu marga
  15. Angkang boru = isteri abang satu marga
  16. Angkang doli = abang, laki-laki yang lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
  17. Angkangboru mangulaki = namboru ayah dari seorang perempuan
  18. Bere = semua anak (lk / pr) dari adik/kakak perempuan
  19. Bona niari = tulang dari kakek
  20. Bonaniari binsar = tulang dari ayah kakek
  21. Bonatulang = tulang dari ayah
  22. Boru diampuan = keturunan dari namboru ayah
  23. Boru = anak kandung perempuan, semua pihak keluarga dari saudara perempuan
  24. Borutubu = semua menantu (lk) / isteri dari satu ompung
  25. Dahahang (baoa/ boru) = abang kita atau isterinya
  26. Dainang = ibu, sebutan kasih sayang anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
  27. Dakdanak = anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
  28. Damang = ayah, bapak, sebutan kasih sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
  29. Dolidoli = laki-laki yang masih lajang atau belum menikah
  30. Dongan sahuta = kekerabatan akrab karena tinggal dalam satu kampung
  31. Dongansapadan = dianggap semarga karena diikat oleh janji atau ikrar
  32. Dongantubu = abang/ adik satu marga
  33. Eda = kakak atau adik ipar antar perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
  34. Haha = abang laki-laki
  35. Hahadoli = sebutan isteri terhadap abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
  36. Hela = suami anak perempuan kita, menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang se-marga dan setarap menurut silsilah marga
  37. Hula-hula = keluarga abang/adik (lk) dari isteri
  38. Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari pihak perempuan
  39. Inang simatua = ibu mertua
  40. Inangbao = isteri dari adik/ abang (lk) istri kita
  41. Inangnaposo = isteri dari amangnaposo
  42. Inangtua mangulaki = nenek ayah
  43. Inangtua = isteri dari abang ayah, ada juga inangtua marpariban
  44. Inanguda = isteri dari adik ayah, ada juga inanguda marpariban
  45. Inanta/ inanta soripada = sebutan penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam acara adat
  46. Ito, iboto = kakak atau adik perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
  47. Lae = tutur sapa anak laki-laki tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki dari namboru kita (lk)
  48. Maen = anak-gadis dari hula-hula kita
  49. Namboru = kakak atau adik ayah kita yang sudah menikah maupun belum
  50. Nantulang = isteri dari tulang kita, mertua dari adik kita yang perempuan
  51. Nini = sebutan untuk anak dari cucu laki-laki
  52. Nono = sebutan untuk anak dari cucu perempuan
  53. Ompung boru = nenek, orang tua perempuan dari ayah kita
  54. Ompung doli = kakek, orang tua laki-laki dari ayah kita
  55. Ompungbao = kakek/nenek dari ibu kita, orangtua dari ibu kandung kita
  56. Ondok-ondok = cucu dari cucu laki-laki
  57. Pahompu = sebutan untuk semua cucu, anak - anak dari semua anak kita
  58. Pamarai = abang atau adik dari suhut utama, orang kedua
  59. Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
  60. Pariban = semua anak perempuan dari pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
  61. Parumaen = mantu perempuan, isteri dari anak
  62. Rorobot, tulangrorobot = tulang isteri (bukan narobot)
  63. Simatua boru = mertua perempuan, ibu dari istri
  64. Simatua doli = mertua laki-laki, ayah/ bapak dari istri
  65. Simolohon / simandokhon = iboto, kakak atau adik laki-laki
  66. Suhut = pemilik hajatan kelompok orang yang membuat acara adat
  67. Tulang = abang atau adik dari ibu, mertua dari adik kita yang laki-laki
  68. Tulang naposo = paraman yang sudah menikah
  69. Tulang Ni Hela = tulang dari pengantin laki-laki
  70. Tunggane boru, inang siadopan, pardijabunami, = isteri
  71. Tunggane doli, amang siadopan, amanta jabunami = suami
  72. Tunggane = semua abang dan adik (lk) dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang